5.7.06

REKA

serupa puisi kau adalah diksi, multi tafsir katanya. sejalan dengan kemelut menyeruak dingin kancah derma terajarkan di pundi-pundi gereja. dan apa engkau ketika aku terbelalak menyaksikan tangis diatas permadani kegundahan tergelar pada abad legenda kejayaan. dan saksikan air mata yang basah menelikung serabut pantulan keras hati padahal lembek yang tertutupi awanan laknat terpayungi jendela ego bersandaran. diatas jerami mimpi dan kata-kata yang terus kau ulangi seperti bait lagu menjerit lejitkan amarah lejitkan cinta terus terjaga oleh kedekatan oleh ikatan yang lebih kuat dari pada laso pengembala sapi. maka corak apakah sebenarnya jalan ini, dipandang tak bosan namun lumbung padi tak pernah tertatap dan terharap layaknya musim panen dicinta para petani. harga diri kita pinang pagari rasa memecah di malam-malam tanpa alas malam-malam tanpa tikar. maka ini apa, perjalanan yang tak lagi biru dan komunitas yang sengaja diabaikan demi kepuasan kendali ditangisi rembulan ditangisi matahari. falsafah-falsafah dipeluk seraya menyodorkan jampi-jampi yang tak pernah mati oleh lebam oleh temaram. kau ajari aku menyulap tekad menjadi bangunan-bangunan tua disembah selaksa pengikut handal seraya memandang rerumput tak luput dari tebasan-tebasan pedang jagal. lagi-lagi laju waktu membuktikan putaran peradaban semenjak zaman raja-raja semenjak zaman petuah-petuah diatas idealisme dianut para digma menjelma keresahan rakyat yang katanya dibela mati-matian dalam segala pembunuhan lalim.

Juli '06